“BRAM”

oleh: Yoan S Nugraha


“untuk apa cinta, jika yang ada dalam pikiranmu itu hanya tubuhku saja”. Kata-kata yang diucapkan Lastri pecah dengan derai airmata tak terbendung. Sudah 15 tahun lamanya Lastri menyimpan keperihan hati yang selalu disembunyikan dari Bram. Namun rasa perih semakin pedih tatkala Lastri mendengarkan ungkapan Bram yang lebih memilih Tina.
“Las, aku masih menyayangimu. Sungguh. Tina hanyalah pilihanku sebatas bibir, sementara jiwaku lebih utuh untuk memilihmu”. Bram masih sempat memutar cara untuk meluluhkan perih dan pedihnya hati Lastri.
“lelaki bangsat macam apa kau ini Bram?, kau siksa aku dengan kata sayang dengan waktu 15 tahun. Kau lihat, Yoga yang masih umur 8 tahun itu kini justru sudah matang dan siap menikah, andaikan saja Wahyu masih ada, mungkin penyesalanku untuk memilihmu dulu masih bisa aku tebus.”
Lastri kembali larut dengan isak dan derai airmata, secara cepat dan entah datangnya darimana, lamat-lamat bayang 15 tahun itu kembali jelas dan semakin tampak nyata. Lastri merasakan pusing yang dahsyat namun Lastri lebih memilih untuk ikut berputar kemana arah pusingnya membawa kenikmatan ketimbang harus melawan dan terus menangkis pujuk dan rayu Bram.
                Khas suara vespa yang digunakan Bram adalah isyarat yang cukup membuat degup jantung Lastri semakin labil dari detaknya yang statis itu, dengan sigap Lastri menyambar syal putih dan menghambur keluar.
                “kemana kita hari ini Bram”, kata Lastri dengan manja layaknya gadis remaja yang baru disapa panah asmara.
                “ikut ajalah, aku mau membawamu ketempat dimana kita tidak akan melupakannya sedetikpun didalam hidup ini”. Ucap Bram.
                Tak sepatah katapun dari Lastri yang keluar melainkan peluk erat di lingkar pinggang lelaki bertubuh atletis itu. Vespa Bram melesat menuju timur, ketika itu matahari sangat bersahabat, sepoi angin juga bermufakat, awan dan burung-burung menjadi payung yang mengantar mereka semakin larut dalam cinta.
               
                Memang tak salah jika banyak yang bilang bahwa cinta itu buta, begitu butanya hingga pertautan umur yang cukup jauh pun bisa ditikam panah asmara itu, betapa tidak, Bram yang masih usia 23 tahun itu bisa berpaut hati dengan Lastri, janda beranak satu dengan umur dua kali lipat dari Bram. Pertemuan mereka juga seperti perihal cinta lainnya, yakni perjumpaan yang tidak disengaja, memang Bram adalah anak kepala Desa, tapi bukan itu yang menjadi ukuran Lastri untuk juga mencintai Bram. Ketika cinta yang hadir itu tumbuh dengan sungguh maka tak ada satu alasanpun yang bisa menjelaskan dengan rinci kenapa bisa cinta dan mencintai itu terjadi.
                Memang tak salah jika mereka menjalin cinta, sebab tak ada ketentuan khusus untuk seseorang jatuh cinta, seperti halnya Lastri yang rela menjanda dari Wahyu hanya karena Bram. Begitu juga dengan Bram yang mati-matian mencintai Lastri seumpama kumbang yang dahaga madu. Wahyu… ya, dia hanyalah kepingan dan bagian kehidupan Lastri dengan buah hatinya Yoga. Entahlah, yang tahu dengan pasti apa penyebab mereka bercerai hanya Lastri, Wahyu dan Bram tentunya.
                Vespa mulai melambat, pantai Tasik memang terkenal kesyahduannya, tak ada satupun yang menyangkal bahwa landscape ciptan Tuhan itu adalah kanvas para hati yang menginginkan hal lebih dari sekedar cinta. Dihentikannya vespa itu di bawah rindang pohon ru. Begitulah orang menyebutnya, sebab pohon jenis cemara itu terus mengeluarkan suara yang menderu ketika dihembus angin, makin menambah bara cinta jadi bahang dan berapi
“lastri…” suara Bram lirih bersama riuh sepoi angin.
“iya Bram, kenapa sayang?”Lastri menjawab manja
“kau tahu, aku akan mengutuk diriku sendiri jika aku tak bisa membahagiakanmu nantinya Las”, Bram membuka percakapan, sambil tangannya yang kekar itu meremas mesra jemari Lastri. “tak mengapa jika aku harus berpisah dengan keluarga atau tidak dianggap lagi sebagai bagian dari keluarga atau apapun. Aku berjanji akan terus bersamamu, dan membahagiakanmu”. Bram mulai beralih merangkul Lastri yang sebenarnya lebih pantas menjadi Tante ketimbang pacar. Tapi sekali lagi, itulah cinta, tak ada sesiapa yang bisa protes dan atau melarangnya.
“kau yakin dengan pilihan ini Bram?”. Lastri seakan ragu namun hatinya telah yakin dengan apapun ungkapan Bram.
“lastri… aku menyadari bahwa taka da lagi yang bisa menyempurnakan kebahagiaan ini melainkan dengan memilihmu, apa lagi yang kau ragukan? Minggu depan kita langsungkan pernikahan kita meski tanpa kehadiran mereka, dan kemudian, kita menjalani hidup penuh kebahagiaan, dan…”
“dan Yoga akan bangga memiliki seorang ayah sepertimu dengan segenap cinta yang kau punya Bram”. Lastri menutup percakapan dengan menenggelamkan wajah di dada Bram.
Pantai tasik memang terkenal kesyahduannya, terbuktu dengan taka da satupun yang bisa menyangkal bawha dua hati yang bersarang pada satu cinta itu semakin membuaikan dodoi kemesraan. Perlahan namun pasti, Bram mendekatkan wajahnya di hadapan lastri, tatap matanya dalam, sedalam laut pantai Tasik tempat laluan kapal-kapal asing yang membawa bouksit dan pasir. Namun dalamnya tatapan Bram taka da yang menyangka akan berakhir dengan derai airmata Lastri.
Lastripun demikian, semakin lena dengan pesona Bram, tak mampu lagi membedakan yang mana degup dan mana desir, tubuhnya lunglai dalam peluk dan pagutan Bram, bibirpun demikian, seakan enggan menyisakan ruang untuk melepaskan satu hurufpun.

“jangan biarkan kesedihan yang di derita Ibu Lastri semakin menggerogoti kesehatannya, usahakan untuk terus membuatnya lupa akan kesedihan yang disimpan Ibumu”. Dokter menjelaskan panjang lebar kepada Yoga tentang akibat yang paling mungkin bisa terjadi terhadap Lastri.
“baik Dok, tapi bisakah sekarang saya menjenguknya?”. Yoga yang kini lebih dewasa, teduh dan penuh wibawa mencoba untuk tetap tenang, meski dia juga paham dan mampu merasakan betapa hancurnya perasaan seorang Ibu yang digantungkan dari pernikahan selama lima belas tahun.
“bisa, silahkan anda masuk” ucap dokter sambil meninggalkan ruang VVIP tempat Lastri dirawat.

Entah berapa cairan tabung infus yang menjejal nadinya, desir yang membawa darah mengalir pada seluruh tubuh itu tidak sehebat desir waktu di pantai Tasik. Degup jantung yang semakin melemah seperti isyarat bahwa lemah juga kekuatan cinta yang bersarang di hati Lastri. Bram yang sedari tadi menunggu Lasti di sisi kanan pembaringan tetap enggan melepaskan genggam tangan kepada lastri. Meski tak sehebat dulu genggamannya namun paling tidak cukup membuat Lastri merasakan betapa sungguh Bram mencintainya.
“Tina..” raut bayang gadis yang sebaya dengan Yoga itu berkelebat di ingatan Lastri. Gadis yang justru dipilih Bram untuk dinikahinya setelah lima belas tahun merajut untai kasih bersama Lastri. Wanita mana yang tak luruh dan atau lebur hancur tak berbentuk ketika telah meyakini dengan sungguh terhadap lelaki yang bakal menikahinya meski penantian itu berlangsung cukup lama. Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk Lastri membesarkan Yoga. Lima belas tahun juga bukan waktu yang sedikit untuk Lastri menuangkan madu kasih pada pujaan hatinya Bram.
Yoga menatap lirih pada Lastri Ibunya, tak menyangka bahwa dia rela menggadaikan kebahagiaan yang digantung entah dimana dari Bram dan memilih penderitaan dalam sebuah penantian. Tapi Yoga paham bahwa itulah cinta pilihan Ibunya. Betapa abstraknya pemaknaan dan artikulasi dari cinta, lima huruf yang multi makna dalam setiap hidup dan kehidupan. Tak bisa berkata apapun atau sekedar untuk mencegahnya, Yoga hanya berharap penyakit yang menyerang Ibunya itu bisa segera sembuh dan kembali sehat, bahagia, ceria, meski entah kapan kata ijab dari Bram akan terlafas atas nama Ibunya, serupa perjanjian mereka di pantai Tasik lima belas tahun silam.

“Bram…”, suara lirih yang terucap di bibir Lastri menyentak lamunan Yoga. Bram juga demikian, serta-merta sigap menegakkan tuguhnya yang sedari tadi berusaha untuk tidur.

“iya las…” kata Bram sambil mencium mesra jemari lastri.

“untuk apa cinta, jika yang ada dalam pikiranmu itu hanya tubuhku saja”. Kata-kata yang diucapkan Lastri yang lirih itu dipaksanya keluar, berharap dengan segera mendapatkan jawaban sebelum berakhir dijemput kematian.

“Bu… sudahlah, lebih baik Ibu istirahat dulu, aku dan papa akan terus disini hingga semua baik-baik saja”. Yoga berusaha menenangkan kecamuk Ibunya, seprti saran dokter yang menganjurkan Ibunya untuk tetap tenang.

“Las, aku masih menyayangimu. Sungguh”. Bram berusaha memberikan jawaban kepada Lastri meki kini jawaban Bram sedikit bergetar gamang.
“le..la..ki.. bang..sat ma..cam apa… kau in…i Br..am?, ka..u sik..sa aku.. de..ngan kata sa..yang da..lam waktu.. 15 tahun.” Ucap Lastri lirih.
Ruangan VVIP itu kembali hening, tak ada suara apapun melainkan tik-tak jarum jam dinding yang perlahan menunjukkan tepat pukul 03:45 dini hari. Ketika itu matahari masih lelap di peraduan, sepoi angin juga bermufakat, awan dan burung-burung menjadi payung yang mengantar mereka semakin larut tanpa kata.




Posting Komentar

2 Komentar