JANGAN PANGGIL AKU LONTE


 “Tidak masalah jika kau jijik denganku, entah sekedar menyapa atau berjabat tangan. Tapi paling tidak dengan rasa jijikmu itu sudah cukup menjelaskan bahwa kau lebih rendah dari binatang.”
Jangan panggil aku lonte, jika tak ada lagi kata yang bisa kau ucapkan. Karena aku tidak pernah menyapamu dengan panggilan rendahan, atau simbol-simbol lain yang bisa merendahkan martabatmu. Lonte bukan sebuah pucuk cita-cita yang ingin aku raih seperti dunia karir lainnya, kalau bukan karena Farhan yang menjadikanku seperti ini. Ya..meski tidak secara langsung.
***
            Liana pulang dari Sekolah yang masih di bangku kelas 4 SD itu dengan matanya yang sembab, sisa tangisnya masih Nampak meskipun hanya tinggal isak yang tak berkesudah. Belum sempat aku tanyakan sebab airmatanya menetes, Liana memelukku dengan erat di depan pintu. Sebagai Ibu, instingku menangkap sinyal, bahwa Liana berkelahi di sekolah atau mungkin di bully dengan kakak kelasnya. Jauh dari pikiranku kalau Liana menjadi korban pelecehan seksual seperti berita yang tersiar di media-media tentang sebuah sekolah yang menyimpan monster Pedophil di instansinya. Tapi nihil. Tak ada satupun instingku yang benar ketika Liana mengucapkan kalimat yang tak bisa aku jawab.
“Bu, mereka bilang aku anak Lonte. Lonte itu apa Bu?”. Ucapannya terbata-bata karena isak yang tersisa dari tangisnya. Hati siapa yang tidak luruh ketika mendengar pertanyaan seperti itu, lebih bergemuruh lagi jika harus dibandingkan dengan rasa disambar petir di siang bolong. Aku memeluknya dengan erat, bukan karena aku takut jati diriku terbongkar oleh anakku sendiri, tapi lebih kepada rasa tidak sanggupku untuk menjelaskan kepada Liana yang masih begitu kecil. Airmataku ikut berderai bersama isaknya yang masih tersisa. Aku gendong Liana dan membawa masuk tanpa sempat untuk melepaskan sepatu usangnya.
            “kenapa Ina Tanya begitu?”. Aku mencoba mengurai benang kusut atas pertanyannya tadi sambil tanganku membelai mesra rambutnya yang lembut. Jika dihitung, lebih dari puluhan lelaki yang sudah aku belai manja, tapi untuk anakku Ina, kelembutan belai yang aku berikan bukan karena dengan tangan yang sama, tapi dari hati yang beda. Hati seorang Ibu dengan segenap cinta tulus yang dimiliki. “Ina tadi diejek sama Raka Bu, dia bilang Ina anak lonte,”. Bibirnya yang mungil itu mengucap jawaban apa adanya. “terus kenapa Ina nagis sayang?” aku mengorek lebih dalam pertanyaan. “kata Raka, anak Lonte itu jijik Bu, tidak boleh punya kawan. Raka juga bilang kalau mamanya Raka yang kasitahu ke Raka kalau Ina ini anak lonte dan tidak boleh berkawan dengan Raka.” Ucapannya yang polos itu meremukkan hatiku. “Sebegitu jijikkah dengan lonte? Lantas, sesuci apakah mereka?.” Gumamku dalam hati sambil berusaha untuk tidak melepaskan bendung airmata yang hampir meluap tumpah. Aku tidak mau menjadi Ibu yang cengeng didepan anakku, cukup tangis untuk hidupku saja yang  kering tak bersisa, tapi tidak untuk Ina.
            Jangan panggil aku lonte, jika tak ada lagi kata yang bisa kau ucapkan. Karena aku tidak pernah menyapamu dengan panggilan rendahan, atau simbol-simbol lain yang bisa merendahkan martabatmu. Aku kenal Raka, anak sebaya liana yang menjadi tetangga sebelah rumah. Ruyati ibunya Raka juga berteman baik denganku. Anak kami sering bermain bersama, terkadang tidak jarang Raka makan bersama Liana di rumahku, begitu juga sebaliknya. Aku akui Ruyati orang yang taat beragama, bukan seperti aku yang sudah antah berantah pengetahuan agamaku.
            Anehnya tidak sedikit tetangga yang kurang menyukai Ruyati. Sikapnya yang ingin tahu segala urusan orang membuatnya menjadi virus antar tetangga. Sebenarnya tidak masalah jika urusan orang diketahui atau dicari tahu oleh Ruyati, yang menjadi masalahnya adalah ketika masalah sudah diketahui itu ditebar-tebar layaknya petani menabur pupuk di ladang. Dan tidak sedikit dari pupuk yang ditebarkan itu dicampur dengan bahan lainnya yang justru berbahaya tidak hanya untuk tanaman, tetapi juga pada dirinya.
            Memang bukan seperti aku yang antah berantah pengetahuan agamaku, sebab bagiku agama hanyalah symbol spiritual untuk kita melangkah, sementara langkah dalam berpijak itu sendiri adalah nilai luhur yang terdapat dalam agama manapun. Aku tidak mengatakan semua agama itu sama, tapi pantaskah orang yang beragama namun hidup tanpa etika? Lebih tepatnya etika dalam berkehidupan ini. Dan aku juga tidak mengatakan kalau aku adalah orang tanpa agama, aku punya agama. Paling tidak, petuah Ayahku itu bisa menjadi acuan hidupku.
            Sekilas tentang Farhan yang sebenarnya sudah malas untuk aku mengingatnya kembali, terlalu pahit dari kepahitan manapun. Bagiku Farhan adalah satu-satunya manusia yang harus bertanggung jawab dalam hidupku. Sebab dulu aku sudah menambatkan cinta sebegitu kuat padanya, hingga aku mengandung Liana tanpa ada ikatan nikah. Aku tahu ini adalah tindakan hina, tapi tidak bagiku yang ketika itu sudah terlanjur mabuk cinta. Buaian mesra Farhan membuatku lena dan untuk sesaat lupa bahwa hidup tidak sesingkat atau sebatas satu malam saja. Aku mengira Farhan juga menambatkan cintanya sama kuat padaku hingga suatu waktu aku menyadari bahwa Farhan tidak lebih dari binatang ketika menjual aku di lokalisasi.
            Awalnya aku berpikir Ruyati adalah orang yang tepat untuk aku menjadi baik, taat beragama sepertinya, dan berusaha membantah pernyataan tetangga lainnya yang mengatakan Ruyati bukanlah tetangga baik. Sama sepertiku, sebaik apapun aku tetap saja tidak baik dimata orang. Dan seburuk apapun orang memandangku setidaknya sudah bisa aku bantah dengan sikap berkehidupanku yang dinilai baik dimata tetangga, sampai semuanya sirna ketika aku menceritakannya kepada Ruyati.
            “Jangan panggil aku lonte, jika tak ada lagi kata yang bisa kau ucapkan. Karena aku tidak pernah menyapamu dengan panggilan rendahan, atau simbol-simbol lain yang bisa merendahkan martabatmu. Aku menjalaninya karena aku tidak mau Liana nantinya dipandang hina, aku ingin Liana hidup dengan berkecukupan harta. Karena selama ini “kaya” adalah tolok ukur seseorang mendapatkan tampuk martabat. Akan aku beli mulut Farhan, orang yang mengatakan aku “lonte” untuk yang pertama kalinya, baru kemudian aku membersihkan diri dengan tenggelam dalam lautan agamis. Kau paham?.” Aku ucapkan kata-kata itu di teras rumahnya, tepat dimana aku dan Ruyati berhadapan. Aku lihat air muka Ruyati runtuh karena malu. Betapa tidak, puncak kesabaran ini sudah lepas dari batasnya, ketika seorang Ibu harus mendengar ucapan polos anaknya yang tidak ada kaitannya dalam hal ini. Suasana perumahan mendadak riuh, layaknya penonton yang sedang menyaksikan adegan ektrime siaran langsung. Tidak sedikit juga tetangga yang memanfaatkan suasana ini untuk menuangkan gerun hati terhadap Ruyati. Jujur, aku merasa terbela dengan keadaan itu.
            Jangan panggil aku lonte, jika tak ada lagi kata yang bisa kau ucapkan, bukan juga dengan panggilan Pelacur, sebab kata-kata itu sama hinanya. Jangan juga panggil Wanita Tuna Susila, ungkpan itu jelas tidak adil, seolah-olah yang Tuna Susila hanya Wanita saja. Aku rasa Tuna Susila juga banyak terdapat di kaum lelaki. Pekerja Seks Komersial?, lebih tidak nyaman jika harus dipanggil dengan sebutan PSK, dimana-mana yang namanya pekerja ada kewajiban pajak, sementara PSK?.
***
            Tanganku sudah lama rindu untuk membelai mesra rambut Ina, padahal hampir tiap malam tangan ini membelai ragam model rambut. Dari yang lurus bergelombang, kriting halus dan kasar, atau sekedar ikal mayang, tapi tetap saja lebih menginginkan rambut Ina. Sebab kelembutan belai yang aku berikan bukan karena dengan tangan yang sama, tapi dari hati yang beda. Hati seorang Ibu dengan segenap cinta tulus yang dimiliki.
            Semenjak kejadian dengan Ruyati, aku memutuskan untuk pindah ke perumahan lain, perumahan yang mana aku lebih leluasa untuk menyimpan rahasia jati diriku. Dan kini, Ina sudah jauh lebih dewasa, kami hidup berkecukupan dan bahagia, meski tanpa seorang kepala keluarga. Kedewasaan Ina jika dibandingkan denganku ketika sebaya dengannya sangat jauh, Ina lebih mandiri dengan membiayai kehidupannya sendiri, tidak pernah mengeluh kepadaku tentang kebutuhan pendidikannya yang kini di bangku kuliah. Mungkin Ina paham penderitaan Ibunya, dan tidak ingin menambah rasa pahit itu.
            Aku akui, tidak semua insting seorang Ibu itu benar, sama seperti instingku terhadap Ina dengan segala bentuk kedewasaan dan kemandirianya, sampai di satu sore, aku mendengar suara khas yang sudah aku kenal namun kali ini di kamar Ina. Suara ringkih seorang wanita, dan ngorok lelaki seiring bersamaan lalu sejenak hening tak bergeming.
            Ina keluar dari kamar diekori seorang lelaki yang sebaya dengannya. Untuk kali ini, aku meyakini sebagai Ibu, instingku pasti benar. “Ina..!” aku meneriakkan namanya sebelum mereka sempat melangkah keluar pintu rumah. Dia menolehku sejenak dan melempar senyumnya tanpa berkata satu patahpun. “dasar lonte..!” aku memakinya yang diiring derai lebat airmata, tak sanggup rasanya bendung kesabaran seorang Ibu atas kepahitan hidup untuk dipertahankan lagi.
            “Bu, jangan panggil aku lonte, sebab ibu tak mau dipanggil dengan panggilan yang sama kan?. Panggil aku ayam kampus”. Ina menjawab santai, berlalu pergi sambil erat merangkul tangan lelaki itu.



Posting Komentar

0 Komentar