“aku tak akan
pernah bisa mati,
meskipun langit
dan segenap isinya runtuh kehilangan tiang”.
Tuhan sudah menggariskan keabadian
itu padaku hingga nanti suatu waktu, aku harus memberikan laporan-laporan
pertanggungjawabanku pada-NYA.
Aku Satria, anak perkasa yang
terlahir dari Emakku seorang janda, Bapakku sudah lama mati menjadi penghuni
laut Mapur, dengan selaksa ombak yang tak mungkin bisa dijinakkan. Dulu sewaktu
Bapakku masih ada dan umurku belum sebanyak ini angkanya, sempat aku tanyakan,
kenapa harus dilaut Mapur hanya untuk menjaring ikan?. Dia menjawab datar,
sedatar matanya menatap pompong pukat tua yang letih di dermaga dari jendela
tua rumah kami, setua umur kenangan yang tersimpan di benakku. “lebih mudah
menjinakkan laut Cina Selatan daripada laut Mapur. Bukan karena Cina Selatan
itu laut kepunyaan orang seberang, tapi lebih kepada harga diri sebagai pelaut
yang harus terlebih dahulu menjinakkan lautnya sendiri”.
Bapakku
menghela napasnya sejenak, sambil jemari yang kapalan itu melinting tembakau
Emak yang baru selesai dijemur. Cengkeh yang ditumbuk sendiri adalah bahan
wajib dalam ritual melinting tembakau. Kalau dilaut, Bapakku lebih memilih
rokok kretek yang dijual di kedai kak Yati, sengaja untuk tidak membawa
tembakau Emak, biar rindu dan cepat pulang katanya. Lagipula kalau pelaut sudah
berjumpa laut, serupa mabuk candu mayang yang berkelindan dan tak bersurai.
Linting
tembakau itu sudah terpilin di bibir Bapak, ujungnya disulut dengan pancis kayu, padahal Bapak juga punya Cricket, pancis gas di cap SNI itu, yang diberikan oleh temannya ketika
membeli minyak di kapal takbut.
Mungkin lebih terasa saja tembakau kampung yang ditanam sendiri ketika dipadu
padankan dengan pancis kayu.
Dihisapnya dalam-dalam, asapnya tebal dan kekuning-kuningan ketika bebas dari
cengkraman bibir dan paru-paru Bapak. Tangannya yang kapalan itu menggosok
kepalaku. “kau boleh jadi apapun yang kau mau, tapi satu hal, jangan pernah
jadi pelaut. Kalau keinginan itu ada, cepat-cepatlah kau buang, kalau tidak,
nanti kau bisa tagih dan lupa pulang”. Katanya.
Aku
Satria, anak perkasa yang terlahir dari Emakku seorang janda, Bapakku sudah
lama mati menjadi penghuni laut Mapur dengan selaksa ombak yang tak mungkin
bisa dijinakkan. Gelar janda yang disandang Emakku itu, tidak menyurutkannya
untuk bertanggung jawab sebagai orangtua. Aku disekolahkannya sebagaimana orang
lain menyekolahkan anaknya. Sekolahku tak jauh dari rumah, hanya sebatang rokok
Bapak saja jaraknya, kalaupun dia masih hidup.
Di
atas bukit, gubuk yang beratap rumbia
dan dinding kajang itulah sekolahku,
gurunya tiga orang, kerjanya saling rangkap. Ada yang menaja kurikulum,
kesiswaan, serta jabatan kepala sekolah. Siswanya dua puluh orang termasuk aku
dan segenap siswa lainnya dari keseluruhan kelas. Sejujurnya aku awalnya tidak
tahu sekolah itu sebenarnya apa dan bagaimana. Selama ini aku pikir, sekolah
itu, ya yang seperti sekolah aku itulah. Ternyata tidak, sekolah itu seharusnya
bergedung bagus, dindingnya beton, guru dan siswanya banyak, punya seragam, dan
ada ritual upacara disetiap senin pagi. Itupun aku mengetahuinya di luar,
setelah enam tahun menimba ilmu di sekolahku dan beranjak ke kota untuk
merantau bekerja.
Sebelumnya
aku berpikir sekolah itu hanya enam tahun saja, ternyata masih ada dua kali
tiga tahun lagi yang wajib diikuti. Tapi ah…sudahlah, yang penting aku bisa
baca dan menulis, lagipula Emak Bapakku bukan orang dengan sekolah yang
lama-lama waktunya, hanya tiga tahun saja di Sekolah Rakyat. Bisa hidup, bisa
makan, bisa punya rumah kecil, dan punya aku, anaknya yang perkasa.
Aku
memang harus ke kota untuk bekerja, sebab kalau hanya dikampung saja nanti aku
bisa jadi pelaut, sementara Bapakku tidak mengizinkan aku untuk menjadi pelaut.
Lantas, harus menjadi apalagi kalau bukan pelaut. Mau jadi petani? Mana bisa
lagi, di kampung sudah tidak masuk akal lagi untuk menjadi petani. Tanah subur
kami sudah habis dibolak-balik sama bolduzer
dan cobelco.
Waktu
itu ramai orang kampung menukarkan petak tanahnya dengan uang berjuta-juta
dibandingkan dengan mengolah tanah sendiri untuk kehidupan bertahun-tahun. Aku
yakin berjuta itu tidak bisa bertahun. Buktinya Wak Jamil, tetangga rumah arah
tanjung. Bukan main kaya setelah menukarkan 3 petak tanah kebun, sama tauke tanah yang punya bolduzer dan cobelco itu, tapi kekayaannya itu hanya bertahan 7 bulan. Kata
Emakku dia kualat dimakan sumpah karena menjual tanah pusaka, setelah itu
menghabiskan hidup untuk ikut dengan Bapak jadi pelaut. Bapak tak kuasa untuk
melarangnya, mengingat Wak Jamil juga punya istri dan anak. sampai sekarang
masih ikut dengan bapak menjadi penghuni laut Mapur.
Aku
memang harus ke kota untuk bekerja, meskipun sampai sekarang aku masih belum
bisa dikatakan sudah bekerja. Hanya sebatas ikut-ikut orang bertukang, atau menjadi
kuli sayur di pasar. Terkadang aku berpikir, mungkin ini imbas dari bapakku
yang mengajak wak Jamil untuk menjadi penghuni laut Mapur. Bapakku tekong
kapal, sementara Wak Jamil yang bantu-bantu bapakku untuk angkat pukat, atau
memilah ikan.
Aku
Satria, anak perkasa yang terlahir dari Emakku seorang janda, Bapakku sudah
lama mati menjadi penghuni laut Mapur dengan selaksa ombak yang tak mungkin
bisa dijinakkan. Sudah berbilang tahun lamanya aku di kota. Kawan-kawanku di kampung
banyak yang mengatakan kalau aku ini perantau yang gagal. Aku bilang sama Emak,
bahawa aku bukanlah perantau yang gagal, sebab aku tidak punya cita-cita pasti
dalam hidup. Sebenarnya aku sudah berhasil merantau dikota, sebab tujuanku
hanya untuk bekerja selain jadi pelaut dan petani. Lagipula aku tidak terlalu
suka terikat dengan cita-cita, sebab cita-cita bagiku tak lebih dari sekedar
rantai yang mengikat tubuh sendiri untuk kemudian menjadikan kita pengkhianat
atas cita-cita yang kita ciptakan.
Seperti
anaknya Wak Jamil yang sebaya denganku itu, dia ingin menjadi angkatan laut
agar bisa mencari bapaknya di laut Mapur, tapi ternyata sekarang justru menjadi
kuli kopra yang dimiliki oleh angkatan laut, hasil dari persen uang tanah yang
diberikan tauke bolduzer dan cobelco.
Terkadang
aku rindu kampung, tapi aku juga betah di kota, meski hidup di kota tidak
semudah di kampung. Siapa yang tidak tahu hidup di kota, untuk makan saja harus
menumpahkan uang dari kocek paling sedikit dua puluh ribu. Sementara kuli sayur
saja dapatnya lima belas ribu, berarti aku harus mencari lima ribu lagi dengan
membantu angkat pasir untuk tukang-tukang bangunan, itupun kalau dia
memerlukan. Kalau tidak, ya lima belas ribu itu tetap aku gunakan untuk makan
meskipun lauknya hanya sayur dan kerupuk.
Kalau
dikampung hampir semua tidak bayar kecuali beras dan bumbu dapur di kedai Kak
Yati. Terkadang beras yang dibeli setengah kilo itu dengan sengaja ditambahnya
seperempat. Lauk juga demikian. Selama aku dikampung belum pernah sekalipun
Emakku mengeluarkan uang agar kami bisa makan ikan, bukan karena Bapakku pelaut,
bahkan ketika Bapakku sudah menjadi penghuni laut Mapur sekalipun, orang-orang
kampung tetap tidak pernah meletakkan harga untuk ikan. Kalau sayur, ya ini
menjadi sedikit persoalan, semenjak tanah kami dibolak-balikkan sama bolduzer dan cobelco, semenjak itulah kami tidak mencecap rasa sayur dari
keringat kami, kecuali sayur yang dijual sama maknyah Ailing istri tauke
alat berat itu.
Aku
tidak mau larut dalam kerinduan kampung, sebab aku Satria anak perkasa yang
terlahir dari Emakku seorang janda. Aku hidup atas kehidupanku sendiri bukan
dari desakan siapapun. Jadi apapun yang aku buat adalah benar, meskipun
kebenaran itu adalah salah dimata orang.
Aku
tak akan pernah bisa mati, meskipun langit dan segenap isinya runtuh kehilangan
tiang, atau semesta menciut menjadi pasir. Sebab kematian itu tidak ada, yang
ada hanyalah melaporkan pertanggungjawaban kepada Tuhan atas hidup dan
kehidupan. Aku siap kapanpun, sebab aku tahu benar hidupku tidak pernah
dikekang apa dan siapapun.
Aku
berdiri di ruas bangunan lantai lima belas, sehabis aku penuhkan lambungku
dengan makan, sebab hari ini aku makan dengan menu komplit. Nasi, tumis
kangkung, telur dadar dan perkedel. Tidak lupa teh obeng yang semuaya dua puluh
ribu.
Dibawah,
bangunan-bangunan seperti batu karang dilautan. Manusia menjadi ikan-ikan
kecil. Mungkin seperti inilah pemandangannya sesaat sebelum Bapakku melepaskan
jaring pukat. Indah, teduh, dan mendamaikan.
Aku
Satria, anak perkasa yang terlahir dari Emakku seorang janda, Bapakku sudah
lama mati menjadi penghuni laut Mapur dengan selaksa ombak yang tak mungkin
bisa dijinakkan. Tapi aku iri dengan Bapakku, dia sudah mendapat hunian baru.
Hei..kenapa aku tidak bisa?. Jika bapakku saja bisa menjadi penghuni laut
Mapur, aku juga bisa menjadi penghuni kota ini.
Aku
menatap kebawah, ikan yang manusia-manusia itu semakin ramai berkumpul, tangan
mereka yang melambai itu membuat aku tersenyum dan semakin mantab.aku pejamkan
mataku dan aku melihat Bapak datang memelukku.
0 Komentar