Sudah habis 8
gelas kopi yang diseruput pagi ini,meski rasanya sama dari gelas ke gelas namun
tampaknya tak ada cara lain untuk mendinginkan pikiran yang semakin panas.
Betapa tidak, sejak pagi pukul 07:30 WIB hingga selesai apel di lapangan kantor, tak seorangpun menyadari ada keanehan yang
terjadi.
Rudi beranjak
sejenak dari kursinya, meninggalkan beberapa kertas kerja yang menumpuk sejak
minggu lalu. Bukan untuk melepaskan tanggung jawab sebagai PNS yang dibayang
sumpah seperti Bambang rekan kerjanya yang hanya sebatas absen lalu entah
kemana batang hidungnya. Rudi sengaja menghampiri meja tamu di sudut depan,
guna memampangkan kembali berita pagi ini. “ENAM EKOR BOCAH DISODOMI DALAM
SURAU” cukup jelas dengan tulisan tebal, judul itu mampu dibaca meski tanpa
memegang Koran sekalipun.
“tak kerja kau
rud?, ngopi kita” Bambang menyapa Rudi sambil berlalu.
“ah tak lah,
sudah kembung perutku dari pagi hanya kopi yang diisi” Rudi membalas dengan
tetap merentangkan Koran dimukanya sendiri berharap Bambang membaca judul yang
menjadi beban pikiran Rudi, meski Rudi tahu bahwa “ngopi” adalah bahasa klise
yang mampu menyerap segala makna, tidak semua kata “ngopi” akan sama berakhir
di cangkir kopi, tidak sedikit juga yang memilih teh, sirup, atau minuman lainnya.
Bahkan kata “ngopi” bagi Rudi bisa juga diartikan dengan semangkuk lontong kak
Minah di kantin kantor.
“rin, sudah kau
baca Koran ini”, Rudi melepakan ledakan pertama dari kepalanya yang tak
tertahankan lagi dengan rekan sekantornya di meja kerja belakang meja.
“belum bang,
Rini lagi siapkan SPPD untuk besok” ucapnya dengan tetap melekatkan mata pada
layar computer. “ada apa bang? Berita tentang pelantikan ekselon ya bang?”
lanjutnya lagi.
“ah, tidak Rin,
belum ada lagi berita itu” ucap Rudi dan kembali diam.
12:30 WIB,
pertanda sudah lebih dari 3 jam Rudi memikirkan berita utama hari ini. Kantor
masih sepi dari kesibukan, yang tinggal hanya Rudi dan Rini. Itupun karena SPPD
yang akan digunakan besok, kalau bukan SPPD Rudi yakin Rini juga entah kemana.
Seperti hari-hari sebelumnya selalu Rudi yang menjadi penunggu ruangan hingga
pukul 14:00 WIB kembali riuh sejenakk lalu kemudian hening kembali.
“apa karena aku
terlalu takut, atau memang mereka belum terbaca berita hari ini?” rutuk Rudi
dalam hatinya.
Rudi menggunting
judul Koran itu dan di copynya berulang kali, sebanyak meja yang diduduki rekan
kantornya, diletakkan sedemikian rupa agar ketika nanti mereka pulang dari
“ngopi” di kantin antah berantah berharap bisa dibaca oleh mata mereka, paling
tidak mereka melanjutkan membaca berita lengkapnya di halaman 10 koran itu.
Waktu yang
ditunggu Rudi akhirnya tiba juga, satu demi satu para rekannya yang “ngopi” itu
masuk ke ruangan, seperti biasa dilanjutkan tentang obrolan yang tak ada
sangkut pautnya dengan seragam, gelar sarjana, pangkat dan golongan yang mereka
punya. Rudi melihat Bambang mengambil klipping foto copy membacanya sejenak dan
diabaikannya kembali. Emosi Rudi mendidih dan semakin menggelegak ketika yang
memperlakukan hal yang sama tidak hanya Bambang tapi Rini, Yanti, Retno, Wahyu
dan semua rekan kantornya.
“KALIAN MEMANG BINATANG…!”
bentak Rudi dengan refleknya, sembari kedua lengan ceking itu menggebrak meja
cukup keras. “aku tahu kalian membacanya, tapi mengapa tidak ada yang peduli?
Mereka memang bukan orang yang kita kenal apalagi saudara, tapi ini masalah
moral”. Kata-kata yang keluar dari bibir Rudi seperti sudah disetting
sebelumnya oleh Tuhan, meski sedikit bergetar di setiap kalimat sebab hampir
seharian penuh menahan gejolak yang ada, Rudi justru melanjutkan hamuknya.
“kita dalam ruangan ini semuanya masih islam kan? Atau jangan-jangan sudah
hijrah menjadi kafir?. Jangan yang ada di kepala kalian itu hanya ngopi dan
uang awal bulan saja, kalian dituntut untuk menjadi pengayom dan panutan juga
bukan?”, lanjut Rudi yang diakhiri dengan batuk kecilnya yang khas.
“Rud, aku
membacanya duluan ketika Koran itu datang, tapi apa pentinya bagi kami?, kita
masing-masing punya keluarga, sudahlah… cukup kita bekerja saja dan hidupi
keluarga dengan baik, masalah yang tidak penting tak perlu dibesarkan apalagi
diperdebatkan, sudah ada tim yang memang berkewajiban mengurusnya”. Ucap
Bambang datar sambil membawa segelas kopi menuju meja Rini yang masih sibuk
mengurusi SPPD.
“apa pentinya?”
hamuk Rudi menjadi-jadi “kau tak pikir, betapa nistanya berita ini, ENAM EKOR
BOCAH DISODOMI DALAM SURAU”, Rudi kembali membaca judul Koran itu dengan
suaranya yang lantang. “apa kalian tidak iba atau paling tidak memiliki rasa
prihatin?” lanjut Rudi. Kalian dengar baik-baik aku membacanya:
“16/5-2014- sebanyak enam ekor bocah pagi ini
melaporkan ke orangtua mereka tentang tindakan sodomi oleh pelaku yang tidak
lain merupakan seorang kiyai di Surau komplek rumah mereka. Menurut pengaduan,
kejadian itu berlangsung sebelum maghrib tepatnya beberapa menit menjelang
adzan dikumandangkan.”
“sudahlah Rud,
tak perlu kau mendikte kami lagi” kata Bambang yang juga naik berang. “kau
tahu, wajar jika mereka melaporkan sebab pelakunya kiyai mereka, seharusnya
adalah orang tua mereka sendiri”. Kembali Bambang menyeruput kopinya yang
ingin.
“maksudmu?” Rudi
bertanya heran.
“ya, sudah
kewajiban orangtua untuk memberikan kenikmatan pada anaknya, terlebih lagi
dalam hal urusan agama, bukan melepas tangan kepada orang yang bukan punya
kewajiban. Orangtualah yang seharusnya menyodomi anak dengan segala bentuk
pemahaman agama, karena memang anak adalah ciptaan yang dititipkan untuk dijaga
Rud. Mau-tidak mau anak harus disodomi diperkosa, atau dijejal dengan cara
lainnya. Awalnya dipaksa, menjadi terpaksa, lama nantinya anak kita akan
terbiasa. Ini perihal pola Rud, jangan kau turutkan sangat apa yang menjadi
kehendak anakmu, itu namanya anak yang menyodomi orangtua.” Kembali Bambang
menyeruput kopi.
“tapi bukankah
dengan kita memaksa hal yang tidak disukai anak justru akan merusak jiwanya?”.
Kali ini Rudi mulai membela diri dan merendahkan nada suaranya sambil kembali
duduk dengan pandangan serius kepada Bambang.
“lihat dulu apa
yang dipaksa Rud. Untuk urusan agama hal itu tak berlaku. Aku masih sangat
ingat waktu aku kecil, betapa sedang asik bermain dengan mainan yang dibelikan
emak dipasar, aku disodomi Bapakku dengan hapalan-hapalan, doa-doa, yang aku
sendiri juga tidak paham apa artinya. Tapi sekarang aku paham, kalau bukan
karena Bapakku dulu mungkin sekarang aku membiarkan anakku disodomi oleh orang
lain, lantas tak ada gunanya aku menjadi Bapak dari anak-anakku Rud ”.
“tapi Bam”. Belum
sempat Rudi melanjudkan, bel tanda pulang dikantor berbunyi, pertanda besok
harus melanjudkan kembali “ngopi” yang memang sudah menjadi ritual wajib.
Bambang berdiri sambil menyandang tas yang dari tadi tidak dibukanya sehingga
tak seorangpun yang tahu apa isi didalam tas Bambang, entah laptop dengan
segala arsip kantor, atau bungkusan kopi sachet yang biasa diminumnya.
“tak kerja kau
rud?, ngopi kita” Bambang menyapa Rudi sambil memasukkan tasbih di sakunya dan
berlalu meninggalkan Rudi.
“ah tak lah,
sudah kembung perutku dari pagi hanya kopi yang diisi”.
0 Komentar