Bahangnya
masih terasa meski sepekan sudah di gahar waktu, seakan baru semalam suguhan
yang cukup berani dan penuh birahi itu selesai. Suguhan yang bisa saja tidak
sedikit menuai kontra itu syukurnya dikemas dalam canda dan tawa, sehingga
tidak sedikit pula hadirin yang mengerut dahi untuk berpikir sembari terbahak
memuntahkan huhu-hahanya.
Amma
bakdu, demikianlah adanya bahwa suguhan itu sekalian disebut dengan “sidang”.
Sidang yang tak biasa, meski ada terdakwa, penuntut umum, peguam bela dan yang
mulia tentunya. Namun ini sidang tanda tanya, yang menanyakan keraguan
identitas seseorang, bukan sebangsa jenis kelamin atawa status kewarganegaraan
atawa meragukan bentuk serupa lainnya melainkan identitas kepahlawanan yang hak
penuhnya diberikan oleh Negara. Terdakwa bertungkus lumus mencari peguam bela
yang sepadan dengan hal mustahak ini, sebab yang diseberang sana majelis yang
mulia sudah menyertakan juga tokoh ahli sejarah sebagai penuntut umum yang
tentunya punya jurus sakti dalam ikhwal sejarah. Maklumkan sajalah sebab yang
digugat terdakwa ini adalah seorang yang ratusan tahun sudah pindah ke
sisi-Nya.
Raja
Ali Haji namanya, dengan dentitas kepahlawanan yang sudah dimakzulkan oleh
presiden belasan tahun lalu yang digugat oleh terdakwa. Hanya karena terdakwa
menemukan sumber bukti berupa surat-surat pribadi sang pahlawan kepada abdi
holanda-Von De Wall. Sebenarnya tiadalah jadi masalah hendak menyurati siapa,
karena sampai setakat inipun kita masih penganut paham yang sama tentang hak
manusia. Tapi terdakwa sepertinya tidak rela jika sang pahlawan berhubungan
dengan abdi holanda tersebut. Syahdan digugatnyalah sang pahlawan itu, maka
digelar jugalah adanya sebuah perhelatan sidang sejarah.
Barulah terperangah ketika sidang dimulai dan
Berita Acara Pemeriksaan ditasbihkan ke muka hadirin yang meyikap tabir
kedekatan tergugat dengan abdi holanda itu. Tak sekadar tim ahli dalam proyek
pengadaan kitab bahasa melayu yang ditaja Government holanda sahaja namun lebih
dari itu. Dalam surat-suratnya kedekatan mereka seperti teman, seperti sahabat,
seperti saudara tapi bukan. Itulah peliknya hingga saayapun ada sedikit sukar
untuk memberikan simbol yang berdekatan dengan maksud itu. Agaknya itulah titik
awal terdakwa dalam menggugat. Sebab dimasa itu (1857-1872 M) adalah sebuah
ketabuan antara pribumi dan holanda untuk berdekat-dekatan, kalau tidak
dianggap pembangkang kerajaan, atawa pengampu holanda, lantas apa?. Apatah lagi
kedekatan mereka tidak hanya sebatas berdekat-dekatan saja namun lebih dari
itu. Hingga dibeberapa surat tergugat, ada membunyikan hajat meminjam uang,
meminta dibelikan sampan, arloji, kalam bulu angsa, diberikan senapan dan masih
banyak lagi, tentunya tertuju kepada abdi holanda-Von De Wall atawa selengkap
namanya Hermann Theodor Friedrich Karl
Emil Wilhelm August Casimir Von De Wall.
“puih”,
adakah pantas untuk disematkan pahlawan? Atawa gelar serupa kepada mereka yang
menggadaikan moral nasionalismenya kepada penjajah. Mereka yang
bertungkus-lumus berperang, bersimbah-arai dengan darah, pun tak semua mendapat
penyematan pahlawan. Apatah lagi yang hanya duduk ongkang-ongkang menyirih
atawa “ngisap” candu.- agaknya itu yang bersekelibat di batin terdakwa,
hinggakan naik berang dan memberanikan untuk menggugat. Memang Raja Ali
Haji bukanlah demikian adanya, ianya berperang dengan kalam itupun dari bilah
batang resam. Hingga lahirlah selaksa kitab-kitab hasil benih pikirnya,
termasuk kitab bahasa melayu yang menjadi bibit unggul kelahiran bahasa
Indonesia meski kitab itu adalah proyek Government Holanda. Demikian jugalah
agaknya yang menjadi renung sang presiden hinggakan berani menandatangani sijil
penyematan kepahlawanan Raja Ali Haji belasan tahun silam itu. Mungkin tanpa
campur tangan karya tergugat, entah apa sekarang bahasa Nasional kita.
Peguam
bela berkeras hati membela terdakwa (karena sememang itulah tugas kerjanya)
menyerang bertubi-tubi kepada penuntut umum yang sempat tunggang-langgang
menerima celoteh peguam bela, syahdan disediakannya pula adanya saksi ahli yang
memaparkan bukti puji-pujian tergugat kepada pihak holanda karena diberikannya
hadiah-hadiah yang banyak kepada Raja Ali Haji. Sidang sempat mengejang namun
kembali mengelinjang karena tingkah yang mulia. Masing-masing yang mulia ada
pongkahnya. Yang mulia 1 dengan tanjaknya yang menggunung dan kumisnya yang
rimbun dia sahabat Mahmud Temberang itu. Yang mulia 2 lain cerita, tak ada satu
bulu pun yang menghiasi kepalanya, agaknya hendak menyimbolkan negeri kita yang
semakin gersang. Sementara yang mulia ke-3 dia hanya sekadar hakim magang,
Ramon Damora empunya nama.
Eh,
sebentar. Kita mundur sejenak untuk menukil makna pahlawan, agaknya kita lupa
bahwa “pahlawan” itu sebenarnya kata benda, yang secara etimologi berasal dari
bahasa Sanskerta “phala”, yang bermakna hasil atawa buah. Dan turut serta juga
pemaknaan pahlawan sering dikaitkan dengan segala bentuk keberhasilan dalam
prestasi yang gemilang, terlepas dari baik atawa buruknya niat, jahat atawa
sucinya perlakuan. Ketika berhasil dalam misi terlebih lagi dengan hasil yang
gemilang dan memuaskan adalah “pahlawan”. Pihak holanda misalnya, ke tanah
melayu kita bilang penjajah. Kita berperang atur siasat, berlaksa-laksa
hollanda mati seperti kemenangan perang Riau (1722-1911). Sementara di tanah
Holland sana, mereka yang mati itu tidak sia-sia, mereka adalah pahlawan.
Sedemikan adanya sehingga cukup sependapat dengan ungkapan Mahyudin Al Mudra; “pahlawan
di negeri ini kurang lebih sama nasibnya dengan buruh, hanya di elu-elukan
ketika jasanya dianggap mendatangkan “devisa”. Pahlawan di elu-elukan ketika
mendatangkan devisa bagi nama harum daerah asalnya, dan buruh disanjung-sanjung
ketika menghasilkan devisa untuk Negara. Cara menghargai keduanyapun tidak jauh
berbeda, bila pahlawan cukup diberi karangan bunga diatas kuburnya maka buruh
diberi kalung penghargaan atas nama jasa. Pahlawan diperhatikan menjelang hari
pahlawan, begitu pula buruh diperhatikan setiap akan dating hari buruh.
Biografi para pahlawan dilupakan, perjalanan hidup mereka tidak lagi disimak
apalagi dijadikan teladan. Sedangkan buruh, hanya dimengerti dengan memberikan
gaji bulanan dan sedikit uang tunjangan”.
Syahdan,
jika bolehlah kiranya berungkap kata, berumpama-umpama agaknya, maka “bapak”
juga pahlawan, asbab bertarung nyawa untuk merubah keringat menjadi nasi yang
anak istrinya makan dirumah. Maka “Emak” juga pahlawan, yang menggadai ruh
untuk melahirkan kita. Tukang ojek, penjual gorengan, penjaja rokok keliling
juga pahlawan, karena berhasil memenuhi kehendak kita disaat tiba keterdesakan
dengan waktu. Jikalaulah demikian adanya maka pelacur juga pahlawan, adakah
yang bisa mengira dan meneroka seberapa banyak hitungan lelaki yang dipuaskan
hajat daripada niat hasratnya?.
Amma
bakdu, demikianlah adanya bahwa suguhan itu berjam-jam lama waktunya
berlangsung, hingga pembacaan putusan oleh yang mulia membuat sontak para
penghadir majelis itu semua. Bukan karena yang membaca adalah hakim magang,
namun apa yang disampaikan oleh hakim magang itu yang patut kiranya
direnung-renung. Tiada yang salah atawa benar. Bahkan terdakwapun bebas sedia
kalanya tanpa dibeban hukuman. Hakim magang itu berucap kata, “kitalah yang
harus diragukan sebenarnya karena semakin hitungan hari, semakin menipis
pulalah juga rasa kepahlawanan.” Tamat.
edisi terbit di: http://jembia.com/2015/11/15/catatan-peguam-bela-emak-juga-pahlawan/
0 Komentar