“saya yakin Mahmud terperanjat,
hanya saja karena Temberang, dia berusaha untuk tenang. Sesekali kepalanya
angguk-angguk macam burung pelatuk, sesekali juga kakinya goyang sama. Tuh,
langit dan malam adalah saksi”
Orang
panggil dia Awang, masih muda agak-agak seumur jagung usianya, tak sama dengan
Mahmud yang entah berapa kali panen jagung kira usia. Sebenarnya hampir setiap
ada Mahmud ada juga si Awang ini. Cuma karena usia jagung mereka yang jauh beda
itulah sebab jarang sekali duduk sama. Kalaupun sama duduk tetap saja dia
mengaku jagungnya lebih lemak, padahal jagung Awang, jagung susu. Lebih manis,
dan masih lagi segar.
Masih
hitungan menit agaknya sebuah perhelatan hiburan di asrama haji kampong kite
yang dikemas dalam konsep budaya itu bersurai,
serta-merta pesan singkat diterima
handphone saya. Termaktub di layar: dari
Awang, apa hajatnya berkirim pesan singkat kepada saya, tak pernah suah Awang demikian, biasanya siang,
itupun ngajak ngopi. Adalah sesekali
berkirim pesan malam buta, itupun juga nak
pinjam duit. “wai, nampaknye Mahmud
sekejap lagi mati kutu”, begitu bunyi pesan yang saya baca. Sejenak saya
tunda niatan untuk segera hidupkan motor C70 pusaka Bapak, saya balas segera
pesan Awang itu untuk menukil ikhwal
maksud pesan singkatnya terhadap Mahmud. Maka berbalas-balaslah kami dalam
pesan singkat, entah dapat pulsa darimana Awang malam ini, tapi yang jelas dia
mengajak jumpa segera, “kawan tunggu wai
di akau sekarang, tenang aje, bukan nak pinjam duit lah”. Itulah pesan
terakhir yang saya baca sebelum bergegas menuju tempat perjumpaan yang
dijanjikan.
Alkisahnya,
setiba di akau, setelah pesan kopi pancung dan bermukadimah sekedarnya saja, maka Awang mulai merapatkan duduknya,
badannya sengaja separuh tertunduk ke arah saya, dan dimulaikanlah cakap-cakap pasal Mahmud itu.
“awak tengok tak Mahmud di acara tadi?”
“tengok, die duduk depan, sebangku
deret dengan kawannya yang temberang juga itu”
“bukan pasal die duduk depan atau
duduk tengah, tapi tengok tak air mukanya?”
“manakanlah aku dapat tengok, aku
kan di belakang”
“ah, tulah engkau lambat sangat”
Kawan
saya Awang itu tampaknya kali ini bersemangat, menceritakan Mahmud yang
berusaha mengendalikan diri selama acara berlangsung cukup khidmad dan semarak
itu dari rentak-rentak suguhan
“samudra”. Bukan samudra yang terhampar luas di lautan, meski bisa saja maksud
sebenar “samudra” itu hendak seluas samudra adanya, tapi samudra ini hanyalah selonggok kumpulan budak-budak yang
umurnya juga tak jauh sama dengan usia jagung Awang. “Seniman Muda Serantau”, begitulah perpanjangan kata samudra yang
dimaksud. Meski masih lagi belia, tapi sudah sanggup menaja acara secara
mandiri. Suguhannya juga beragam, kalau baca puisi tentu Mahmud juga bisa,
konon dialah dewa pujangga di kampungnya yang bedelau itu. Tapi juga ada
suguhan solo biola dan gambus yang kali ini saya dan Awang sepakat bahwasanya
Mahmud tidak bisa. Jangankan untuk memainkan barang selagu dua, agaknya menggesek dan mementing senar
saja entah kemana-mana bunyi nadanya.
Kami
jeda sejenak, menyantap pesanan. Saya dengan kopi pancung, dan Awang teh tarik
panasnya. Masing-masing dari kami mengeluarkan dan menyulut rokok dengan panting gas yang secara umum orang-orang
menganggap sebagai teman setia, lantas kembali Awang tegaskan ikhwal
cakap-cakap ini.
“aku sudah cukup bangge dengan
karya suguhan budak samudra itu, kecintaan terhadap budaye yang patut dijadikan
virus untuk budak mude yang lain. Tapi tak cukup setakat bangge, aku juge jadi
semakin geli hati ketike tingkah Mahmud dah sempat hilang temberang”.
Merepet Awang yang sesekali ngikik
geli.
Entah
apa yang digelak Awang, tapi Nampak dari cerita Awang, Mahmud sebenarnya nak
ikut sama dalam rentak irama, mungkin juga hendak berjoget atau mengaku takjub,
tapi malu sebab banyak juga yang turut hadir kawannya kawan Mahmud itu yang
notabene adalah pejabat dan pemangku amanah negeri.
“mari kite gugat Mahmud wai”.
Katanya dengan tiba-tiba
“alamak, engkau ni betul sikit.
Engkau kan tau Mahmud itu siape?”
“sebab aku tau inilah makenye nak
ngajak engkau ikut same“
“ape yang nak digugat wang?
Merapek-merabanlah engkau ni nak gugat Mahmud”
“kite gugat die, untuk seberape
Temberang die bise lahirkan suguhan budaye yang bise dikemas dan disantab untuk
budak mude macam samudra itu. Tak hanye itu, kite juge gugat die untuk seberape
sanggup memberikan peluang yang same bagi kite yang mude-mude ini”.
Bukan
tanpa alasan Awang hendak menggugat Mahmud, sebab Awang tampaknya yakin bahwa
Mahmud sekarang bisa temberang karena apa yang ada sekarang juga pernah ada
dizamannya Mahmud muda. Tapi sekarang samudra sudah berhasil menciptakan
dimensi baru yang saya dan Awang sepakat kali kedua, bahwa suguhan serupa belum
pernah ada di zaman Mahmud. Takjubnya lagi buat samudra adalah mampu bertahan
dengan konsep kebudayaan yang kebanyakan belia menganggap segala yang
berhubungan dengan kebudayaan adalah penjara ghaib bagi kebebasan berkreasi,
terlebih lagi di zaman serba touchscreen
ini yang menjadikan jarak segala Negara dan benua hanya seujung telunjuk jari
saja. Namun malam itu samudra sudah menunjukkan bahwa sebenar penjara ghaib itu
bukanlah milik budaya, namun lebih kepada kearifan berpikir terhadap
kreatifitas. Semakin arif dan kreatif maka semakin bebas jualah adanya tuntutan
atas penjara ghaib tersebut.
Syahdan
adalah tangung rasanya cakap-cakap ini, cakap-cakap saya dengan Awang untuk
menilik serta siasat dan cara untuk menggugat Mahmud. Sebab belum lagi sempat
hendak menyusun siasat, hujan yang sesekali rinai itu mulai melebat dengan
hebat. Agaknya Tuhan mengira kami yang muda ini hendak mendurhaka kepada yang
tua. Maka bersurai jugalah adanya kami berdua itu, dengan berjengket-jengket lari, takutkan takung air di tanah tempias naik.
Tapi tak Awang namanya kalau tak buat tebiat,
bukankah pada awal mula yang berkeras nak jumpa itu si Awang, awal mula lagi
dari pesan singkat juga dimulai oleh awang. Tapi kenapa setiba pasal membayar
kopi disuruhnya saya?. Awang… awang, jage kau!.
edisi lengkap di: http://jembia.com/2015/11/15/menggugat-mahmud-menguak-samudera/
0 Komentar