Jika kita kilas balik, legitimasi Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional disematkan setelah 59 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 5 November 2004 silam. Kamus ekabahasa pertama yang dimiliki oleh Nusantara adalah dasar paling kuat, yang akhirnya mendaulat Raja Ali Haji sebagai bapak bahasa Indonesia.
Makam Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Sumber gambar: LKBN Antara. |
Namun,
ketika kita menelisik lebih jauh, ada beberapa tanda tanya yang menggelitik
untuk di ulas, semisal, apa tujuan Raja Ali Haji yang sebenarnya dibalik
penulisan kitab bahasa yang berisikan lebih dari 2000 kata itu? Alih-alih dibuat
untuk dijadikan referensi utama dalam kematangan negara pasca kemerdekaan
Indonesia, kitab bahasa karya Raja Ali Haji justru sudah berproses di periode
tahun 1800-an.
Atau
mungkin motifnya adalah kecukupan finansial dengan memperoleh sejumlah
keuntungan dari hasilnya menulis kitab bahasa? Atau bisa jadi kitab pengetahuan
bahasa yang ditulis Raja Ali Haji merupakan bagian dari instrumen perang dalam
melawan belanda? Perang dalam senyap, perang tanpa prajurit, perang tanpa darah
dan dentuman bedil, hanya bermodalkan kalam dan kata-kata yang dirangkai?
Tentunya
kurang baik jika kita terlalu bermetahistoria berlebihan dengan selaksa
hipotesis terhadap keberadaan kitab pengetahuan bahasa itu, mereka-reka tanpa
dasar hanya menghasilkan narasi kosong.
Disini,
penulis mencoba untuk menyibak tabir motif Raja Ali Haji dalam menulis kitab
pengetahuan bahasa, dengan pendekatan teori dari Carl Gustav Jung (dibaca: karl gustav yung). Sebab, teori
yang dicetuskan oleh anak emas Sigmund Freud atau bapak Psikoanalisa dunia ini
cukup populer, bukan hanya di kalangan psikiatri dan atau ahli psikologi, namun
juga para ahli filsafat, kebudayaan bahkan sejarawan. Termasuk para seniman dan
pecinta seni.
Dengan
instrumen psikologi analisis yang dibuat oleh Jung, setidaknya kita bisa lebih
dekat terhadap fakta sebenar dibalik kepenulisan kitab pengetahuan bahasa karya
Raja Ali Haji. Untuk menyelami lebih dalam, buku ”surat-surat Raja Ali Haji kepada Von De Wall” yang disusun oleh
Jan Van Der Putten dan Al Azhar, adalah acuan yang digunakan untuk menyibak
motif Raja Haji dibalik kepenulisan kitab pengetahuan bahasa.
Dalam
manuskrip alih aksara surat-surat itu, sepintas mengabarkan bahwa Raja Ali Haji
bersahabat baik dengan Von De Wall, seorang ilmuan berkebangsaan jerman, yang
menjabat sebagai asisten residen Riau periode 1857 Miladiah. Sebegitu karibnya,
sehingga hal-hal yang sifatnya pribadipun tidak sungkan disampaikan oleh Raja Ali
Haji kepada Von De Wall, termasuk keluhannya terhadap lemah syahwat.
Dalam
pendekatan dengan teori Jung, ada istilah ketidaksadaran personal dan
ketidaksadaran kolektif, ini adalah dasar psikologi analitis yang dikemukakan
oleh Jung. Ringkasnya, ketidaksadaran personal bersumber dari pengalaman
individu, sementara ketidaksadaran kolektif adalah pengalaman bersama individu
lainnya. Secara ketidaksadaran personal, tentu Raja Ali Haji masih menyimpan
bara dendam dengan belanda, terlebih pasca kekalahan Raja Haji pada 18 Juni
1784 Miladiah di Teluk Ketapang. Sementara dari ketidaksadaran kolektif, Engku
Puteri yang merupakan makcik Raja Ali
Haji, sebegitu dendamnya dengan belanda.
Meskipun
persahabatan terhadap Von De Wall itu tulus secara personal Raja Ali Haji,
tentu ada motif lain, sehingga elemen ketulusan itu terbentuk demi tujuan yang
lebih besar. Karena Jung mengatakan, didalam samudera ketidaksadan, baik secara
individu maupun kolektif, ada arketipe yang menghuninya. Arketipe diambil dari
bahasa Yunani arkhe (primitif,
original, asal) dan tuppos (model,
pola). Dari kutipan buku Art & Jung
yang ditulis oleh Buntje Harbunangin dijelaskan, Arketipe ini bersifat universal dan diturunkan dari generasi
ke generasi, kepada setiap orang, ras dan kultur. Arketipe inilah yang
menentukan cara setiap orang dalam memandang dan berhubungan dengan orang
lainnya, sekaligus bagaimana cara setiap orang merespon secara emosional.
Lembar
kenangan pahit yang melekat pada seluruh puak melayu, wabil khusus di kalangan
pembesar kerajaan Riau-Lingga karena Belanda, tentu menjadi arketipe untuk
generasi berikutnya, termasuk kepada Raja Ali Haji. Itu terlacak melaui
surat-surat percakapannya kepada Von De Wall, sepanjang proses penggarapan
kitab pengetahuan bahasa yang kini menjadi harta karun berharga yang dimiliki
Indonesia.
Yang
pertama adalah arketipe The Caregiver.
Dengan mengabdi maka ia merasa hidupnya bermakna dan memiliki eksistensi. Hal itu
tertuang jelas hampir di sepanjang arsip surat-surat Raja Haji kepada Von De
Wall. Karena bersahabat, mereka tampak saling memperhatikan, melayani,
mendukung, menolong, mengerti, sabar serta murah hati. Seperti halnya surat
tertanggal 16 September 1857, awal
persahabatan itu dimuai, Raja Haji dengan ikhlasnya menghadiahkan kitab Bustan
Katibin yang dikarangnya kepada Von De Wall. Dan masih di tahun Miladiah yang
sama, Raja Haji juga menerima hadiah Al-Quran dari asisten residen itu.
Arketipe ini terus berlanjut hingga ke tahun-tahun berikutnya.
Atas
arketipe itu, Raja Haji sudah selangkah lebih unggul, jika diibaratkan perang,
maka pola pertahanan musuh sudah terkendali, atas persahabatan yang berlangsung
itu, akhirnya menghasilkan arketipe The
Mentor. Raja Ali Haji berhasil menjadikan Von De Wall sebagai pendamping,
konsultan dan penasehat. Tujuannya tentu sebuah kesuksesan dalam meraih pencapaian.
Contoh lainnya seperti kisah Kresna
dalam Mahabrata atau cerita Gandalf dalam The Lord Of The Rings.
Arketipe
itu dikuatkan dalam surat tanggal 3
Januari 1859, tentang upaya Raja Ali Haji mendapatkan peta perang Reteh
yang hanya dimiliki oleh Residen Belanda. Ada juga surat tanggal 1 Februari 1859, Raja Ali Haji meminta
Asisten Residen itu, agar kitab Mukhtasar
Syar’i Al-Islam yang ditulis sebanyak empat kitab untuk dijidil dengan
kulit. Bahkan Raja Ali Haji tidak sungkan mendetailkan perintahnya itu seperti
warna kulit buku yang bakal digunakan, jenis kertas, hingga proses menjilid.
Hal-hal
yang dilakukan Raja Ali Haji dalam komunikasinya dengan Von De Wall itu tanpa
disadari menonjolkan sebuak arketipe baru lagi, yakni The Wise Old Man.
Kata
Jung, sifat arketipe The Wise Old Man
itu memiliki pengetahuan yang luas, cerdik, serta memiliki intuisi yang hebat,
selayaknya figur Yoda dalam film Star Wars. Tidak sekedar menjilid buku,
bahkan hal-hal kecil seperti lilin (surat
22 November 1866), perlengkapan alat tulis (surat 7 Desember 1866), kertas (surat
9 Februari 1868), sandal (surat 2 mei
1869), dan masih banyak lagi kecerdikan Raja Ali Haji dalam memenuhi
fasilitas dan kebutuhan melalui asisten residen, sepanjang prosesnya
menyelesaikan kitab pengetahuan bahasa.
Dalam
siasat cerdik Raja Ali Haji yang melawan dengan kalam, ada juga arketipe The Sidekick yang merupakan teman
andalan atau pendamping, tentunya mengemban peran sebagai perpanjangan tangan
terpercaya, arketipe ini terlegitimasi kepada Haji Ibrahim.
Selayaknya
Doctor Watson dalam serial Sherlock Holmes, peran Haji Ibrahim juga
patut diperhitungkan dalam proses strategi persuasif Raja Ali Haji kepda Von De
Wall. Hal itu dibuktikan di beberapa surat yang mengutus Haji Ibrahim sebagai
pengganti dan perpanjangan tangan Raja Ali Haji.
Ragam
arketipe Raja Ali Haji yang terdeteksi melalui percakapan surat kepada Von De
Wall itu, semakin menguatkan bahwa motif besar Raja Ali Haji adalah untuk
membilas malu dari kekalahan Raja Haji di teluk Ketapang, melalui kesuksesan
besar dari sebuah karya kitab pengetahuan bahasa, yang ditulis sebagai pedoman
kaum belanda, khususnya yang berada di Batavia dalam melakukan percakapan dan
surat menyurat resmi mereka.
Hal
itu dengan jelas dan terang dibuktikan pada surat 7 Desember 1866, dimana Raja Ali Haji memberikan 3 syarat, sebelum
kitab pengetahuan bahasa itu dicetak. Menurut penyusun buku surat-surat Raja
Ali Haji kepada Von De Wall, poin ketiga yang disyaratkan Raja Ali Haji diduga
adalah upaya untuk mendapatkan bentuk pengakuan formal bagi karyanya sebagai
orang yang ahli, baik dalam agama, bahasa, hingga kepada segenap karya-karya
Raja Ali Haji yang lain.
Dengan
demikian, Raja Ali Haji berhasil membuat Belanda ketergantungan dan takluk
hanya dengan kalam. Hal tersebut dibuktikan melalui arsip surat tanggal 26 Januari 1870, Raja Ali Haji atas
karyanya itu mendapat pembelaan dari Van Der Tuuk dan Von De Wall yang mengecam
kamus tandingan yang dicetak oleh Klinkert pada tahun 1869.
Dari beberapa arketipe yang terdeteksi melalui pendekatan teori Jung, yang lebih penting dan sangat berdampak bagi kita semua hingga kini, secara keseluruhan Raja Ali Haji berhasil menonjolkan arketipe The Creator, yakni mewujudkan sesuatu yang penting, dari yang tidak ada menjadi ada, salah satunya adalah kitab pengetahuan bahasa, yang menjadi pondasi besar bahasa persatuan seluruh masyarakat Indonesia, sebagai bahasa resmi sebuah negara republik.
0 Komentar